Barito Utara

PT MUTU Diduga Bayar Ganti Rugi Lahan Salah Orang, Warga Muara Mea Tuntut Haknya

Muara Teweh – Tim Satgas Penanganan Konflik Sosial (PKS) Barito Utara, Kalimantan Tengah, menggelar mediasi untuk menyelesaikan sengketa lahan antara PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU) dan Abdurahman CS di Desa Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei.

Mediasi yang diadakan pada Selasa (23/4/2024) ini dipimpin oleh Asisten I Setda Barito Utara, Eveready Noor. Ia didampingi oleh perwakilan dari Polres, Kodim 1013 Muara Teweh dan Kejari Barito Utara.

Kedua belah pihak memaparkan argumen dan bukti kepemilikan lahan di hadapan tim mediasi. Abdurahman CS mengklaim memiliki lahan seluas 220 hektar berdasarkan warisan dari kakek mereka, seorang veteran pejuang yang diakui banyak memiliki tanah, ladang dan kebun.

“Salah satunya adalah kepemilikan segel surat keterangan tanah tempat berkebun 1964, berada diantara sungai Jeyatun, Sungai Hayu, Sungai Usang dan Sungai Sualang. Termasuk perladangan dan perkebunan tempat dipasangnya portal kemaren,” kata anak Abdurrahman, Artodi.

Artodi menjelaskan bahwa salah satu pewarisnya adalah ayahnya. Ayahnya pernah bekerja di PT Sindo Lumber sebagai Satpam dari tahun 1983 hingga 2010.

“Kami anak-anaknya juga pernah bekerja di perusahaan kayu itu. Di tahun 1990 abah dan teman lain membuat perladangan di sekitar Sungai Sualang dan kami pelihara sampai saat ini,” bebernya.

Artodi dan keluarganya menuturkan bahwa pada tahun 2016, aktivitas PT MUTU mulai mendekati perladangan mereka. Ketika mereka menuntut ganti rugi atau tali asih, pihak PT MUTU menyatakan bahwa mereka telah menyelesaikan pembayaran kepada warga Desa Muara Mea dan tidak mengakui tuntutan Artodi dan keluarga.

Kantan, paman Artodi, menjelaskan bahwa akar permasalahan ini terletak pada proses ganti rugi lahan yang tidak transparan dan tidak tepat sasaran. Ia telah melaporkan masalah ini kepada PT MUTU, namun mereka diinformasikan bahwa tanah mereka telah dipetakan dan ganti rugi telah diberikan kepada orang lain, bukan kepada mereka.

“Disinilah kusutnya. Orang Mea semua terima diatas tanah milik kami. Akhirnya sekarang kami berontak karena salah bayar,” terangnya.

Kantan menjelaskan bahwa keluarga mereka memiliki bukti kepemilikan dan penguasaan lahan itu. Bukti tersebut antara lain adanya tanaman karet dan Lahan itu telah digarap.

Namun, ia mempertanyakan mengapa PT MUTU memberikan tali asih (ganti rugi) kepada pihak lain atas lahan tersebut. “Artinya pihak MUTU melakukan pembebasan lahan tanpa kroscek lapangan, hanya memiliki bukti formal dan tidak memiliki fakta riil lapangan,” ungkapnya.

Sedangkan, Azar, perwakilan dari PT MUTU, mengakui bahwa perusahaan mereka mengalami gangguan beberapa kali dan terpaksa menghentikan aktivitas penambangan di lokasi yang disengketakan.

Ia menegaskan bahwa lokasi tersebut telah melalui proses pembebasan lahan yang sesuai dengan SOP perusahaan, termasuk negosiasi dengan pihak-pihak yang berhak.

“Pembebasannya dilakukan tahun 2021 sampai 2022,” ujarnya.

Azar memberikan klarifikasi terkait pembayaran ganti rugi lahan. Ia menjelaskan bahwa data pembebasan lahan telah diarsipkan dan terdokumentasikan dengan baik.

“Kompensasi pembebasan itu kami bayarkan kepada warga Desa Muara Mea. Di bagian selatan ada 157 hektar dan yang disengketakan ada sebanyak 143 hektar,” jelasnya.

Sementara itu, Jaya Pura, mantan Kades Muara Mea, menjelaskan bahwa lokasi sengketa lahan tersebut menjadi rebutan. 10 hari setelah dilantik, ia langsung membentuk tim 15 orang warga desa untuk melakukan tata batas wilayah.

Saat tim melakukan tata batas, mereka menemukan sekelompok orang yang sedang melakukan kapling tanah di area tersebut. Jaya Pura menjelaskan bahwa mereka bukan warga Desa Muara Mea, melainkan warga dari Ampah dan Barito Selatan.

“Mereka bukan warga Mea tetapi warga dari Ampah dan Barito Selatan sebanyak 70an orang,” sebutnya.

Jaya Pura mengakui bahwa sebelumnya, sempat ada warga Malungai yang mengakui dan mengklaim tanah di Muara Mea. Namun, masalah tersebut telah diselesaikan.

Untuk mencegah penyusutan wilayah desa, ia menginisiasi rapat dengan seluruh warga desa. Hasilnya, dibentuklah kelompok untuk mengamankan wilayah desa pada tahun 2009.

Kemudian pada tahun 2018, Artodi dan keluarganya datang ke Desa Muara Mea untuk berkonsultasi dan melaporkan bahwa mereka memiliki sebagian lahan di Bintang Ara (Barito Selatan) dan sebagian lagi di Mea (Barito Utara).

“Mereka tidak menjelaskan berapa hektarnya, tapi meminta kami untuk tanda tangan. Saat itu kami menyarankan mereka kordinasi dengan pemerintah daerah, sebab lahan yang diakui skala besar kami tidak berani tanda tangan,” ungkapnya.

Setelah itu pada tahun 2021, saat sosialisasi pembebasan lahan, telah disepakati dan dinegosiasikan nilai tali asih sebesar Rp40 juta per hektar. Masyarakat Desa Muara Mea menyetujui kesepakatan ini.

Jaya Pura mengungkapkan bahwa awalnya, ia menginginkan sistem bagi hasil dengan PT MUTU, bukan ganti rugi lahan. Namun, mayoritas warga desa menginginkan pembebasan dan ganti rugi lahan.

“Kalau rencana kami enggak usah sistem ganti rugi, maunya kami sistem bagi hasil, tapi warga memaksa pembebasan dan ganti rugi lahan,” imbuhnya.

Eveready Noor, Asisten I Setda Barito Utara, selanjutnya menginisiasi pertemuan mediasi kedua antara pihak Abdurahman dan PT MUTU. Tim Satgas PKS (Pemkab, polisi, TNI, dan kejaksaan) akan mempelajari data dan dokumen yang diserahkan oleh kedua belah pihak.

“Bukti-bukti tambahan kalau masih ada mohon bisa diserahkan. Begitu juga nantinya saksi-saksi lain dari warga Mea yang menerima tali asih dihadirkan di pertemuan selanjutnya,” katanya.

Namun, ia menyayangkan sikap PT MUTU yang tidak melaporkan aktivitas pekerjaannya ke Pemkab Barito Utara saat memulai operasi pertambangan. Menurutnya, PT MUTU hanya melaporkan aktivitasnya kepada pemerintah desa, seperti rencana pembabatan lahan.

“Saya juga sering dilaporkan camat. Semestinya siapapun perusahaan jika memulai bekerja di wilayah Barito Utara, harus lapor ke pemerintah kabupaten,” jelasnya.

Usai mediasi, Pihak PT MUTU mengaku sudah membayar lahan sengketa ke warga Desa Mea. Disisi lain, Pengakuan pihak Abdurahman CS menyebut PT MUTU sudah pernah membayar DP terhadap mereka.

Artodi menyampaikan bahwa masih ada sisa pembayaran sebesar Rp13 miliar yang belum dibayarkan oleh PT MUTU. Ia menunjukkan bukti pembayaran DP kepada media, namun tidak memberikannya secara langsung karena alasan tertentu.

“Ini bukti bayar mereka ke kami. Mohon maaf tidak bisa saya kasih ke teman-teman wartawan. Cukup di foto dokumen persilnya saja,” ungkapnya.

Eksternal PT MUTU, Azar pun menanggapi pernyataan Artodi mengenai pembayaran DP (uang muka) untuk lahan sengketa. Ia mempertanyakan DP tersebut untuk pembayaran lahan yang mana, karena PT MUTU memiliki manajemen baru.

“Nanti akan kami pelajari lagi pembayaran DP terkait pembebasan yang mana,” pungkasnya.

Sebelumnya, pada Kamis, (18/4/2024) lalu pihak Abdurahman CS melakukan portal di lahan yang diakui miliknya di daerah Sungai Sualang Alang Desa Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei. Karena terganggu aktifitas tambang, PT MUTU meminta bantuan keamanan Polres Barito Utara dibackup Kodim 1013 Muara Teweh.

Abdurahman CS pun sepakat melepas portal dan dilakukan mediasi di Kantor Pemkab Barito Utara.(*)

Back to top button