Penegakan Hukum: Ketika Keadilan dan Kemanusiaan Terabaikan
Muara Teweh – Pepatah “hukum tumpul ke atas, runcing ke bawah” tampaknya masih relevan di era modern ini. Kasus Elda Rianti, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun, menjadi contoh nyata bagaimana keadilan seringkali lebih tajam menghukum masyarakat kecil.
Elda divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Muara Teweh melalui Putusan Nomor 163/Pid.Sus/2023/PN Mtw tanggal 28 Februari 2024. Ia didakwa melanggar Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang -Undang Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Elda di vonis selama 1 tahun dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani, serta denda 1 miliar rupiah subsidair 3 bulan kurungan. Vonis ini berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Barito Utara.
Polemik dan Permohonan Keadilan
Kasus Elda memicu polemik karena ia memiliki tiga anak, salah satunya masih membutuhkan kasih sayang dan pengasuhannya berusia kurang lebih dua tahun.
Situasi ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat, bahkan mendorong seorang pengacara muda bernama Jubendri Lusfernando untuk turun tangan sebagai penasehat hukum Elda.
“Kami sudah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh. Kami berharap penegakan hukum yang berimbang dan tidak hanya mengarah kepada masyarakat kecil. Kapan lagi kita mengedepankan rasa keadilan hukum di negeri ini?” tegas Jubendri. Selasa (05/03/2024).
Jubendri berharap Majelis Banding Pengadilan Tinggi Palangka Raya akan memberikan putusan yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil.
“Kami berharap putusan yang ada lebih ringan lagi, dengan mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan anak-anak beliau. Semoga upaya kami sebagai penasehat hukumnya dapat membawa keadilan bagi Ibu Elda,” tandasnya.
Dilema Seorang Ibu dan Tulang Punggung Keluarga
Elda Rianti bukan hanya seorang ibu, tetapi juga tulang punggung keluarga yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia bekerja dari pagi hingga sore dengan penghasilan tak menentu, hanya mengambil keuntungan seribu rupiah per liter BBM.
Terkadang Elda juga mencari penghasilan tambahan guna mengangkut barang dagangan atas permintaan masyarakat, namun tidak setiap hari.
“Harapan saya sebagai kepala keluarga, Pengadilan Negeri memutuskan ini seadil-adilnya dan seringan-ringannya. Anak saya masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu,” ungkap Misran, suami Elda Rianti.
Kasus Elda Rianti merupakan contoh bagaimana keadilan dan kemanusiaan seringkali terabaikan dalam penegakan hukum. Diharapkan kedepannya, penegakan hukum dapat lebih adil dan berpihak kepada semua pihak, tanpa terkecuali masyarakat kecil. (Iis)