
Badai ‘Sell America’ Guncang Dunia, IHSG Malah Melonjak Tinggi!
SUDUT KALTENG, Jakarta – Dunia keuangan global tengah dilanda gempa dahsyat! Guncangan bermula dari jantung ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS), yang baru saja kehilangan mahkota peringkat kredit tertingginya dari Moody’s Ratings pekan lalu. Langkah itu, yang melengkapi “vonis” serupa dari S&P dan Fitch sebelumnya, memicu gelombang jual aset-aset AS yang kini dijuluki “Sell America”, sebuah fenomena yang mengirimkan pesan bahaya ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
“Ini bukan sekadar koreksi biasa, tapi sinyal peringatan keras dari pasar global terhadap disfungsi fiskal AS,” tegas C. Jiah Mario, seorang pengamat pasar kawakan yang analisisnya selalu dinantikan. “Kekhawatiran akan defisit utang AS yang membengkak tanpa kendali, ditambah minimnya solusi politik nyata, telah mengikis kepercayaan fundamental investor.”
Akibatnya sungguh mencengangkan! Harga aset-aset “Paman Sam” berjatuhan bak kartu domino. Dari mulai pasar saham di Wall Street yang berjangka (futures) indeks S&P 500 ambles lebih dari 1%, DJIA tergerus 0,8%, hingga Nasdaq futures yang merosot 0,06% pada Senin siang ini (19/5/2025). Namun, yang paling dramatis adalah lonjakan imbal hasil (yield) US Treasury tenor panjang yang secara brutal menembus level psikologis di atas 5% – tertinggi sejak 2023, bahkan mendekati rekor 2007! Kenaikan yield ini, yang dalam situasi normal seharusnya menarik dolar, justru berbalik arah. Pamor dolar AS malah makin pudar, dengan indeks dolar tergerus 0,48% jelang pembukaan pasar Eropa, menembus level 100,6. Sebuah paradoks yang menunjukkan seberapa dalam krisis kepercayaan terhadap kebijakan AS saat ini.
“Dalam badai ketidakpastian global ini,” ungkap C. Jiah Mario, “strategi bukanlah sekadar membaca pergerakan harga, melainkan memahami narasi besar di baliknya. Seperti catur, setiap langkah kebijakan di pentas global memiliki konsekuensi berantai yang tak terduga di papan pasar saham.”
Analisis mendalam menunjukkan, “Sell America” ini dipicu bukan hanya oleh penurunan peringkat, tapi juga oleh ancaman jangka panjang terhadap kesehatan fiskal AS. Utang pemerintah AS yang mendekati US$ 2 triliun per tahun, ditambah rencana pemotongan pajak dan belanja besar-besaran yang justru akan menambah triliunan dolar utang lagi, seperti diungkap Komite Gabungan Perpajakan dengan estimasi biaya RUU mencapai US$ 3,8 triliun dalam sedekade, menciptakan keraguan serius akan kemampuan AS membayar kewajibannya. Para anggota parlemen AS justru sibuk mempertimbangkan lebih banyak pemotongan tarif pajak! Kantor Anggaran Kongres bahkan memperingatkan, rasio defisit fiskal AS akan melampaui rekor utang pasca-Perang Dunia II, mencapai 107% dari PDB pada 2029. Moody’s sendiri memproyeksikan defisit federal bisa menyentuh 9% dari PDB pada 2035.
Ini bukan hanya soal angka, tapi juga soal geopolitik dan pergeseran lanskap ekonomi dunia. Terkikisnya status “safe haven” US Treasury memiliki implikasi serius terhadap dominasi dolar AS dan permintaan global terhadap aset-aset Amerika lainnya. Spekulasi bahwa China, salah satu pemegang utang AS terbesar, mulai mengurangi kepemilikan Treasury-nya, semakin memanaskan isu ini. Ini adalah babak baru dalam pertarungan pengaruh ekonomi global. Gubernur ECB Christine Lagarde bahkan secara terbuka menyebut penurunan dolar ini mencerminkan “ketidakpastian dan hilangnya kepercayaan terhadap kebijakan AS di antara segmen tertentu di pasar keuangan.”
Lantas, bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Ini adalah “pedang bermata dua” yang menuntut analisis tajam. Di satu sisi, kenaikan yield US Treasury membuat imbal hasil surat utang RI (SUN) menjadi kurang atraktif karena selisih (yield spread) menyempit. Saat ini, selisih UST-SUN hanya 234 bps, jauh lebih kecil dari momen pelebaran sebelumnya di 300 bps. Ini bisa membuat investor asing kurang berminat pada aset berdenominasi rupiah.
Namun, di sisi lain, pelemahan pamor dolar AS justru menjadi angin segar bagi Rupiah yang selama ini dianggap oversold alias valuasinya terlalu murah. Rupiah pada Senin siang ini bahkan berbalik menguat, stabil di kisaran Rp16.430/US$, didukung oleh reli pasar saham yang masih berlanjut. IHSG pun perkasa, naik 0,63% di level 7.151.
Namun, jangan terlena. Volatilitas mata uang diprediksi akan meningkat tajam ke depan. Kombinasi yield US Treasury yang tinggi, inflasi inti AS yang masih membandel (menahan The Fed dari pemotongan suku bunga September nanti), dan potensi pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI rate) – seperti yang diantisipasi pasar fixed income RI pada Jumat lalu, berpotensi menciptakan badai volatilitas rupiah pada kuartal ketiga. Tim analis Mega Capital Sekuritas memperkirakan, penurunan peringkat utang AS akan menjaga yield spread 10Y di rentang rendah 240-280 bps, dengan catatan pemerintah RI berhasil menjaga defisit fiskal tidak melebihi -3.00% PDB.
“Di momen krusial seperti ini,” lanjut Jiah Mario, “taktik yang paling ampuh adalah disiplin. Hindari keputusan emosional. Ingat, pasar saham adalah maraton, bukan sprint. Keberanian tanpa perhitungan adalah bunuh diri finansial; perhitungan tanpa keberanian adalah peluang yang terlewat.”
Meski ada pandangan minoritas dari analis seperti Barclays atau Profesor Michael McLean yang menilai dampak politik penurunan peringkat ini terbatas, merujuk kasus S&P 2011 – respons pasar saat ini tak bisa diabaikan. Fokus investor global pekan ini akan tertuju pada pergerakan yield UST-30Y. Seperti kata Steven Mayor dari HSBC, “Pertanyaannya adalah, bagaimana cara agar imbal hasil itu kembali turun. Saat ini Anda tidak bisa benar-benar melihatnya.”
Krisis kepercayaan terhadap fiskal AS, pergeseran lanskap ekonomi dan geopolitik, serta ancaman volatilitas tinggi adalah realitas baru yang harus dihadapi investor di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
“Lanskap ekonomi global terus berubah dengan kecepatan cahaya,” kata C. Jiah Mario menutup analisisnya. “Kemampuan untuk beradaptasi dan terus menerus mengasah analisis adalah kunci untuk bertahan, bahkan berkembang, di tengah turbulensi. Jangan pernah berhenti belajar dari setiap ‘gempa’ kebijakan yang terjadi.” Ini adalah saatnya bagi para pemodal untuk merumuskan kembali strategi dan taktik, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menemukan peluang di tengah badai.
Disclaimer: Analisis ini bersifat informatif dan bukan merupakan saran investasi. Investor disarankan untuk melakukan riset dan analisis mendalam sebelum mengambil keputusan investasi.