
BADAI MERAH HANTAM BURSA: Senin Kelabu Uji Nyali Jenderal Pasar!
C. Jiah Mario: “Di bursa, kemenangan sejati bukan hanya tentang kepiawaian memilih saham, tapi seni mengetahui kapan harus menyerang, dan kapan harus menahan diri dalam diam.”
SUDUT KALTENG, Jakarta – Senin yang seharusnya cerah justru menyisakan mendung di lantai bursa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpaksa menyerah pada tekanan jual, mengakhiri sesi siang di zona merah. Turun 0,80% atau 57,599 poin ke level 7.156,563, momentum koreksi ini seolah menguji nyali para jenderal pasar. Pun demikian dengan indeks LQ45 yang tak luput dari sapuan merah, anjlok 0,64% ke 811,351.
“Di bursa, kemenangan sejati bukan hanya tentang kepiawaian memilih saham, tapi seni mengetahui kapan harus menyerang, dan kapan harus menahan diri dalam diam,” ujar C. Jiah Mario, seorang pengamat pasar yang dikenal dengan filosofi investasinya. “Hari ini, pasar memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menahan diri, mengamati pergerakan musuh, sebelum melancarkan serangan balasan.”
Pergerakan Harian dan Dramanya
Total 215 saham berhasil bertahan di zona hijau, namun jumlah saham yang terjerembab jauh lebih banyak, mencapai 396 emiten. Sementara itu, 189 saham tampak stagnan, seolah menunggu arah angin berikutnya. Frekuensi transaksi mencapai 928.167 kali, dengan volume perdagangan fantastis 22,985 miliar saham senilai Rp9,06 triliun. Angka ini menunjukkan geliat transaksi yang masif, meski mayoritas didominasi aksi jual.
Saham-saham yang menjadi “tumbal” koreksi hari ini antara lain Fast Food Indonesia Tbk (FAST) yang terperosok 11,43%, Total Bangun Persada Tbk (TOTL) anjlok 11,39%, dan Perdana Gapuraprima Tbk (GPRA) yang terlempar 10,08%. Tak ketinggalan, Arsy Buana Travelindo Tbk (HAJJ) dan GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) juga harus rela merasakan pahitnya penurunan, masing-masing 9,91% dan 68%.
Namun, di tengah badai merah, nilai tukar rupiah justru menunjukkan taringnya. Menguat tipis 0,02% atau 3,00 poin ke level Rp16.215 terhadap dolar AS. Sebuah anomali yang menunjukkan bahwa di tengah gejolak pasar saham, fondasi mata uang kita masih cukup kokoh.
Geopolitik Global dan Resonansi Pasar
Di kancah global, bursa Asia menunjukkan wajah yang bervariasi. Nikkei 225 Jepang melonjak 0,79%, seolah tak terpengaruh riak di pasar lain. Namun, Hang Seng Hong Kong dan SSE Composite China justru terkoreksi, masing-masing 1,01% dan 0,22%. Pun demikian dengan Straits Times Singapura yang harus pasrah turun 0,41%. Pergerakan ini menggarisbawahi betapa eratnya hubungan antara dinamika ekonomi domestik dengan lanskap geopolitik dan perubahan ekonomi dunia.
C. Jiah Mario menambahkan, “Ketika pasar global bergejolak, inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral ibarat panah yang siap dilepaskan dari busur, mengancam stabilitas ekonomi. Kondisi ini menuntut kita untuk menjadi ahli strategi ulung, bukan sekadar penyerbu tanpa arah.”
Kilas Balik Pekan Lalu: Asa di Tengah Ketidakpastian
Meskipun hari ini IHSG babak belur, pekan lalu justru ditutup dengan senyuman. IHSG melonjak 1,51% ke level 7.214,16 pada Jumat (23/5/2025). Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) Kautsar Primadi Nurahmad mencatat, investor asing membukukan net buy Rp589,43 miliar di hari terakhir perdagangan. Namun, akumulasi sepanjang tahun 2025, investor asing masih mencatat net sell jumbo Rp46,66 triliun.
“Peningkatan tertinggi terjadi pada kapitalisasi pasar BEI yang naik 1,97% menjadi Rp12.561 triliun,” ungkap Kautsar. Ini adalah sinyal bahwa daya tarik pasar modal Indonesia masih terpancar, meskipun diwarnai dengan aksi jual investor asing.
Namun, tidak semua data bercerita indah. Rata-rata frekuensi transaksi harian pekan ini merosot 4,46%, begitu pula rata-rata nilai transaksi harian yang menyusut 12,51%. Volume transaksi harian juga terjun bebas 24,15%. Penurunan ini mengindikasikan adanya kehati-hatian investor dalam bertransaksi, mungkin menantikan sinyal yang lebih jelas dari pasar.
Di Washington: Utang, Suku Bunga, dan Inflasi
Di panggung global, Amerika Serikat juga tak luput dari drama. Bursa saham AS ditutup sedikit berubah pada Kamis waktu setempat setelah DPR meloloskan undang-undang pajak Presiden Donald Trump. Kebijakan ini, diproyeksikan akan menambah sekitar USD3,8 triliun ke utang nasional selama sepuluh tahun ke depan, memicu kekhawatiran para analis.
“Tampaknya cukup jelas bahwa, dalam bentuknya saat ini, undang-undang tersebut tentu tidak akan memperbaiki defisit anggaran dan dapat memperburuknya secara substansial,” kata Steve Sosnick, kepala analis pasar di Interactive Brokers.
Di sisi lain, pasar obligasi AS sedikit bernapas lega setelah beberapa hari menanjak. Imbal hasil obligasi 30 tahun dan 10 tahun mengalami penurunan tipis. Gubernur Federal Reserve Christopher Waller bahkan mengisyaratkan kemungkinan pemotongan suku bunga jika kebijakan tarif Trump tidak terlalu parah.
“Jika kita dapat menurunkan tarif mendekati 10 persen dan kemudian semuanya selesai, tuntas, dan terlaksana pada bulan Juli, maka kita dalam kondisi yang baik untuk paruh kedua tahun ini, dan kemudian kita berada dalam posisi yang baik untuk bergerak dengan pemotongan suku bunga sepanjang paruh kedua tahun ini,” kata Waller.
Data ekonomi AS menunjukkan output bangkit kembali di bulan Mei, namun data pasar tenaga kerja justru menunjukkan pelemahan. Klaim pengangguran mingguan meningkat, menunjukkan adanya tekanan di pasar tenaga kerja. Ekspektasi pasar saat ini mencerminkan kemungkinan setidaknya dua kali pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada akhir tahun.
“Dalam konteks ini, ambisi, agresi, dan visi jangka panjang di pasar saham menjadi kunci. Ini bukan hanya tentang menangkap ikan yang ada di depan mata, tapi juga merencanakan bagaimana menangkap ikan paus di masa depan,” pungkas C. Jiah Mario, mengingatkan pentingnya strategi dalam setiap langkah di pasar saham yang penuh teka-teki ini.
Disclaimer: Analisis ini bersifat informatif dan bukan merupakan saran investasi. Investor disarankan untuk melakukan riset dan analisis mendalam sebelum mengambil keputusan investasi.