
Tarif ‘Senjata Rahasia’ Diturunkan: Apakah Ini Langkah Cerdik AS atau China dalam Perang Dagang? Mungkinkah Kenaikan Harga Emas Jadi Pertanda Bahaya Ekonomi?
SUDUT KALTENG, Jakarta – Harga emas global kembali meroket tajam baru-baru ini, menembus kembali level psikologis di atas US$3.250 per ons. Menurut analisis mendalam dari C. Jiah Mario, pakar analisis pasar modal, penguatan dramatis ini bukan sekadar fluktuasi pasar biasa, melainkan respons langsung terhadap sebuah ‘gencatan senjata’ tak terduga dalam perang dagang epik antara Amerika Serikat (AS) dan China, sebuah langkah taktis yang siap mengguncang peta persaingan global.
Jiah Mario mengungkapkan, langkah strategis ini dipicu oleh peredaan ketegangan perdagangan yang sebelumnya sempat memicu aksi jual panik di pasar logam mulia. Washington, di bawah komando pemerintahan Presiden Trump, melancarkan ‘taktik de-eskalasi’ dengan memangkas bea masuk terhadap produk China secara drastis, dari yang semula mencekik di level 145% kini diturunkan ke kisaran 30% saja untuk periode 90 hari. Tak mau kalah, Beijing merespons dengan ‘manuver balasan’ yang cerdik, turut menurunkan tarif terhadap sebagian besar barang AS hingga 10%. Ini adalah jeda strategis yang memaksa para investor global merumuskan kembali strategi mereka.
Meski ada peredaan taktis, perhatian pasar langsung beralih ke ‘medan pertempuran’ data ekonomi. Menurut Jiah Mario, sorotan utama kini tertuju pada data inflasi AS untuk bulan April. Laporan ini sangat krusial karena diperkirakan akan menjadi ‘bukti lapangan’ pertama yang mencerminkan dampak riil dari strategi tarif agresif yang dilancarkan Washington sebelumnya. Bagaimana inflasi bereaksi akan menjadi indikator penting bagi langkah kebijakan moneter AS ke depan, dan tentu saja, pergerakan harga emas.
Namun, pergerakan emas juga dibayangi oleh ‘senjata’ finansial lain yang aktif digunakan Washington. Penguatan Dolar AS yang mencatatkan performa terbaiknya sejak November lalu, ditambah kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS (Treasury), adalah manuver strategis yang secara teoritis menekan daya tarik emas. Sebagai aset yang tidak memberikan imbal hasil bunga, emas cenderung kurang menarik saat aset berdenominasi dolar AS menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, C. Jiah Mario menyoroti bahwa pasar mulai menyesuaikan ekspektasi terhadap Federal Reserve (The Fed). Perkiraan bahwa The Fed hanya akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali tahun ini, sebuah revisi dari ekspektasi sebelumnya – adalah pukulan lain bagi emas. Dalam skenario di mana bank sentral dipandang kurang agresif dalam memangkas biaya pinjaman, daya tarik emas sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi cenderung berkurang. Ini adalah cerminan dari strategi moneter The Fed yang terus berevolusi.
Meskipun menghadapi berbagai tekanan, Jiah Mario mengingatkan bahwa harga emas masih melambung hampir 25% sepanjang tahun ini. Angka ini, tegasnya, menunjukkan bahwa di balik ‘gencatan senjata’ taktis dan manuver pasar, kekhawatiran fundamental terhadap stabilitas sistem keuangan global, prospek jangka panjang perang dagang, dan potensi depresiasi mata uang fiat tetap tinggi di kalangan investor cerdas. Ini mengindikasikan bahwa langkah Presiden Trump yang tampak lebih lunak mungkin hanyalah sebuah taktik ‘umpan’ (baiting tactic) atau upaya memperkuat posisi negosiasi di babak selanjutnya.
“Detail teknis dalam proses negosiasi lanjutan akan sangat krusial,” ujar Jiah Mario, mengutip pandangan analis lain yang mengamini fase konsolidasi ini. “Kami memperkirakan harga emas akan berkonsolidasi dalam rentang US$3.150 hingga US$3.350 per ons dalam waktu dekat, mencerminkan ‘medan pertempuran’ strategis antara faktor pendukung dan penghambat.” Ketidakpastian arah strategis besar inilah yang menciptakan volatilitas sekaligus peluang di pasar logam mulia.
Saat berita ini diturunkan, harga spot emas terlihat stabil di kisaran US$3.255,59 per ons. Sementara itu, Bloomberg Dollar Spot Index yang sempat perkasa, kini justru melemah tipis 0,2% setelah melonjak 1% di sesi sebelumnya, sebuah respons taktis pasar terhadap pergeseran sentimen perang dagang. Logam mulia lainnya seperti perak dan platinum juga menunjukkan penguatan, sementara paladium bergerak mendatar, menandakan kompleksitas strategi alokasi aset di tengah ‘perang’ ekonomi global yang terus bergejolak. Dunia menahan napas, menanti taktik kejutan berikutnya dari Washington dan Beijing yang siap kembali mengguncang pasar emas.