
Amerika “Pepet” Indonesia Usai Damai Dagang dengan China, Ancaman Baru atau Peluang Emas?
SUDUT KALTENG, Jakarta- Arena pertarungan dagang global kembali memanas! Belum kering tinta kesepakatan tarif antara Amerika Serikat dan China, Washington kini secara agresif mengalihkan bidikannya ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Langkah strategis ini memicu analisis mendalam terkait implikasi geopolitik dan ekonomi yang harus dihadapi Indonesia. Sumber terpercaya, pengamat analis strategi pasar modal C. Jiah Mario, menyebut manuver Paman Sam ini sebagai fase baru dalam penataan ulang rantai pasok global.
Setelah “gencatan senjata” tarif 90 hari dengan Beijing disepakati pada 12 Mei 2025, yang ironisnya justru dipandang sebagian analis sebagai “kemenangan” bagi China, AS kini berupaya memperkuat posisinya di kawasan Asia. Indonesia, sebagai salah satu raksasa ekonomi di Asia Tenggara dengan surplus dagang yang signifikan dengan AS, menjadi target negosiasi selanjutnya.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, membenarkan bahwa Indonesia tengah melakukan konsolidasi teknis intensif menyikapi situasi krusial ini. “Kami terus mencermati perkembangan dan menyiapkan langkah-langkah terbaik dalam menghadapi negosiasi tarif dengan Amerika Serikat,” ujarnya, mengindikasikan keseriusan pemerintah dalam meracik taktik negosiasi.
Dalam tinjauan geopolitik-ekonomi, desakan AS terhadap negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketergantungan dagang dengan China menjadi isu sentral. Jiah Mario lebih lanjut mengungkapkan, “Ini bukan sekadar urusan tarif. Washington tampaknya ingin ‘memaksa’ negara-negara di lingkaran pengaruh China untuk menyeimbangkan kembali neraca perdagangan mereka demi keuntungan AS. Ini adalah bagian dari strategi besar decoupling parsial dan pembentukan blok ekonomi yang lebih selaras dengan kepentingan Amerika.”
Para pelaku industri di tanah air kini menanti dengan cemas. Sektor-sektor unggulan ekspor Indonesia ke AS, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur, sangat rentan terhadap potensi pengenaan tarif baru atau peningkatan tarif yang sudah ada. Data menunjukkan ekspor Indonesia ke AS mencapai miliaran dolar, dan gangguan pada arus perdagangan ini dapat berdampak signifikan pada kinerja ekspor dan lapangan kerja.
Namun, Indonesia tak tinggal diam. Secara taktis, pemerintah dilaporkan tengah menyiapkan sejumlah tawaran dan strategi negosiasi. Pendekatan “win-win solution” terus didorong, dengan kemungkinan melonggarkan beberapa aturan konten lokal (TKDN) untuk produk-produk AS dan meningkatkan impor komoditas Amerika yang dibutuhkan Indonesia. “Ini adalah manuver cerdas untuk menunjukkan niat baik dan menciptakan posisi tawar yang lebih kuat,” jelas Jiah Mario. “Indonesia memanfaatkan kebutuhan AS akan pasar baru dan potensi investasi di sektor strategis untuk menyeimbangkan tuntutan tarif.”
Di sisi lain, para ahli mengingatkan agar Indonesia juga menyiapkan “rencana B”. Diversifikasi pasar ekspor menjadi keharusan. Mendorong perdagangan intra-ASEAN, memperkuat kerja sama dalam kerangka RCEP, serta menjajaki pasar-pasar nontradisional di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin adalah langkah strategis jangka panjang yang vital untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu atau dua mitra dagang raksasa.
Negosiasi dengan AS diprediksi akan alot dan penuh tantangan. Indonesia harus cermat dalam setiap langkahnya, menimbang untung rugi dari setiap konsesi yang diberikan demi mengamankan akses pasar bagi produk-produk unggulannya. Nasib ekspor, stabilitas ekonomi, dan posisi geopolitik Indonesia di kancah global sangat bergantung pada efektivitas strategi dan taktik yang dijalankan Jakarta dalam “permainan catur” dagang energi tinggi ini. Dunia menanti, akankah Indonesia mampu mengubah ancaman ini menjadi peluang emas?