NasionalEkonomi dan Bisnis

Benteng Terakhir Asia: Mengapa IHSG Berani Melawan Guncangan Global?

SUDUT KALTENG, Jakarta – Dunia keuangan global bergetar hebat! Di saat mayoritas bursa saham Asia terhempas badai sentimen negatif yang dipicu guncangan fundamental ekonomi Amerika Serikat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia justru tampil bak pahlawan kesiangan, nekat menguat sendirian di zona hijau! Fenomena mengejutkan ini bukan sekadar anomali teknis pasar, melainkan cerminan kompleksitas analisis geopolitik dan perubahan lanskap ekonomi dunia yang wajib dibedah tuntas, apalagi saat peringkat kredit Sang Superpower dunia dihantam telak!

Pada perdagangan Senin, 19 Mei 2025 yang penuh drama, IHSG secara bombastis menutup hari dengan kenaikan 0,49%, atau melonjak 34,56 poin ke level 7.141,09. Data transaksi menunjukkan aksi borong saham yang luar biasa agresif, mencetak nilai Rp14,8 triliun dengan volume perdagangan menyentuh 25,51 miliar saham. Frekuensi perdagangan yang mencapai 1,43 juta kali menjadi bukti betapa panasnya lantai bursa hari ini, didorong oleh 409 saham yang melaju kencang, meninggalkan 225 saham yang terkapar dan 173 yang stagnan. Sektor transportasi memimpin “rally” dengan kenaikan 3,09%, diikuti barang baku (1,99%) dan energi (1,96%), sementara industri dan infrastruktur juga tak ketinggalan menguat.

Kontras mencolok terlihat di seluruh penjuru Asia. Bursa saham dari Tokyo hingga Hong Kong, dari Seoul hingga Singapura, serempak terperosok ke “laut merah”! Taiwan anjlok 1,46%, Malaysia 0,99%, Korea Selatan 0,89%, Thailand 0,73%, Nikkei 225 Tokyo 0,68%, Singapura 0,56%, Vietnam 0,39%, India 0,32%, China CSI 300 0,31%, Filipina 0,17%, Topix Jepang 0,08%, dan Hong Kong 0,05%. Hanya IHSG dan Shenzhen Comp. China (+0,33%) yang berani melawan arus pelemahan masif ini.

Apa sebenarnya yang memicu kepanikan massal di bursa Asia? Jawabannya datang dari Negeri Paman Sam yang tengah digoyang krisis fundamental. Lembaga pemeringkat global, Moody’s Ratings, melancarkan pukulan telak dengan memangkas peringkat kredit Pemerintah Amerika Serikat dari AAA atau level tertinggi menjadi AA+. Ini adalah alarm keras yang mengguncang pondasi kepercayaan terhadap surat utang negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Moody’s tanpa tedeng aling-aling menyalahkan membengkaknya defisit anggaran AS yang diperkirakan melonjak hingga hampir 9% dari PDB pada 2035 (dari 6,4% di 2024), utang federal yang membengkak menjadi sekitar 134% dari PDB pada 2035 (naik dari 98% tahun lalu), dan kurangnya reformasi fiskal yang berarti di tengah beban pembiayaan utang yang terus meningkat akibat tingginya suku bunga. Penurunan peringkat ini, yang mengikuti langkah Fitch di 2023 dan S&P di 2011, memperkuat kegelisahan Wall Street dan berpotensi membuat investor menuntut imbal hasil lebih tinggi atas surat utang AS, kata Tracy Chen, manajer portofolio di Brandywine Global Investment Management.

Situasi ini diperparah dengan ketidakpastian arah ekonomi AS di bawah potensi perubahan kebijakan, termasuk negosiasi ulang kesepakatan perdagangan yang bisa mengganggu kemitraan komersial global. Sentimen negatif dari “krisis utang” superpower ini dikhawatirkan menjalar ke pasar saham, mendorong pemodal global menjauhi aset-aset berisiko, termasuk Emerging Market seperti Indonesia. “Penurunan peringkat ini berisiko menambah skeptisisme terhadap dolar dengan indikator kekuatan greenback yang sudah mendekati level terendahnya pada April,” papar riset Phillip Sekuritas Indonesia.

Di sinilah analisis mendalam dari pengamat pasar, C. Jiah Mario, menjadi krusial. Menurut beliau, ketahanan IHSG hari ini di tengah badai global adalah indikasi bahwa investor mulai melihat dinamika yang lebih kompleks melampaui sentimen pasar sesaat. “Di tengah badai ketidakpastian global yang dipicu perubahan kebijakan superpower dan krisis utang, pasar saham adalah cerminan pertarungan strategi dan persepsi risiko yang berbeda,” ujar C. Jiah Mario. “Penurunan peringkat AS oleh Moody’s bukanlah sekadar angka; ini adalah sinyal geopolitik kuat tentang pergeseran keseimbangan ekonomi dunia. Investor global kini dipaksa mengevaluasi kembali di mana ‘benteng pertahanan’ terbaik mereka berada.”

Lebih lanjut, C. Jiah Mario menganalisis bahwa penguatan sektor-sektor seperti energi dan barang baku di IHSG bisa jadi refleksi dari dinamika geopolitik yang menopang harga komoditas, atau optimisme domestik yang lebih kuat terhadap fundamental Indonesia dibandingkan negara lain yang lebih rentan terhadap guncangan eksternal dari AS. “Investor yang bijak di era turbulensi ini bukan hanya melihat angka di layar, tapi membaca peta geopolitik dan arah angin ekonomi global. Strategi bertahan dan menyerang harus dinamis,” tegasnya. Beliau menambahkan, “Seperti bidak catur di papan dunia, setiap kebijakan global, terutama dari negara sekelas AS, menciptakan riak yang sampai ke bursa lokal. Taktik terbaik adalah bersabar, diversifikasi yang cerdas, dan fokus pada fundamental emiten yang kuat di tengah pasar yang panik dan tidak rasional.”

Meskipun sentimen global yang dipicu masalah utang AS masih menjadi ancaman serius bagi Emerging Market, kinerja IHSG hari ini memberikan secercah harapan. Ini menunjukkan bahwa faktor domestik, kebijakan pemerintah yang tepat, dan persepsi investor terhadap prospek ekonomi Indonesia di tengah lanskap global yang berubah, bisa menjadi penopang kuat. Namun, C. Jiah Mario mengingatkan, volatilitas akan tetap tinggi. “Era mudah sudah usai. Sekarang saatnya strategi matang, bukan spekulasi buta. Keberanian melawan arus harus didasari analisis mendalam, bukan sekadar nekat. Ini adalah momen bagi investor untuk membuktikan ketangguhan dan kecerdasan mereka dalam menghadapi pasar yang bermain di atas panggung geopolitik dunia yang tak terduga,” tutup C. Jiah Mario. Analisis dari Felix Darmawan, Economist Panin Sekuritas, yang menyebut penurunan peringkat AS bisa mengindikasikan investor akan menuntut imbal hasil yang lebih tinggi atas Treasury, semakin menggarisbawahi tantangan berat yang dihadapi pasar global akibat situasi ini. Dunia keuangan kini menanti langkah strategis selanjutnya dari para pelaku pasar dan respons kebijakan dari berbagai negara di tengah guncangan dari Sang Superpower yang terlihat semakin rapuh.

Disclaimer: Analisis ini bersifat informatif dan bukan merupakan saran investasi. Investor disarankan untuk melakukan riset dan analisis mendalam sebelum mengambil keputusan investasi.

Back to top button