
GENEVA SHOCKWAVE! As vs China Mendadak ‘Damai’, Dolar Mengamuk, Emas Terjun Bebas, Indonesia Harus Mainkan Taktik Jenius!
SUDUT KALTENG, Jakarta – Dunia baru saja dikejutkan oleh ‘manuver’ tak terduga dalam perang dagang panas antara Amerika Serikat (AS) dan China. Sebuah babak baru de-eskalasi yang disinyalir sebagai ‘jeda strategis’ ini langsung memicu gelombang pasang di pasar keuangan global, membalikkan semua tren yang ada. Menurut pakar strategi pasar modal, C. Jiah Mario, situasi ini bukan sekadar perubahan pasar, melainkan penanda pergeseran lanskap ekonomi dan geopolitik dunia yang menuntut Indonesia untuk bersikap sangat lincah dan strategis.
Euforia ‘risk-on’ atau kembali berburu aset berisiko langsung menyala bak kembang api di malam tahun baru. Pamor Dolar AS yang sempat redup kini bangkit perkasa, meninggalkan ‘sarang aman’ seperti emas batangan dan surat utang AS (US Treasury) yang selama ini jadi buruan utama pemodal di tengah ketidakpastian. “Ini sinyal jelas bahwa para pemain besar sedang repositioning. Mereka mencium adanya ‘gencatan senjata sementara’ dan segera mengalihkan dana mereka,” ujar C. Jiah Mario dalam analisis terbarunya.
Sinyal tersebut datang langsung dari Jenewa, Swiss. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengungkap hasil negosiasi dagang yang intensif. Tak butuh waktu lama, pasar global langsung bereaksi. Indeks Dolar AS melesat, menyentuh level tertinggi dalam sebulan terakhir di kisaran 101,53 pada pembukaan pasar Eropa. Kebangkitan ‘greenback’ ini sontak menumbangkan mata uang rivalnya yang selama ini perkasa, seperti Euro yang ambruk 1,25%, Yen Jepang tergerus 1,63%, dan Franc Swiss melemah 1,53%. Mata uang lain seperti Krona Swedia juga ikut terhempas 1,24%.
Imbasnya tak berhenti di situ. Pasar saham AS langsung menyambut dengan gegap gempita. Indeks saham berjangka seperti S&P 500 dan Nasdaq melonjak hampir 3%, memberikan sinyal kuat akan adanya reli besar di bursa saham spot pada pembukaan Wall Street. Sebaliknya, dana global beramai-ramai keluar dari pasar surat utang AS, terlihat dari kenaikan yield US Treasury, seperti UST-2Y yang naik 8,8 bps ke 3,979% dan tenor acuan 10Y yang merangkak naik 6,1 bps ke 4,439%.
Namun, drama paling dramatis terjadi pada harga emas. Sang ‘aset aman’ kini tak lagi aman. Harga emas di pasar spot langsung ‘ambrol’ dari level rekornya di kisaran US$ 3.500-an pada April lalu. Mengacu Bloomberg, harga emas diperdagangkan di kisaran US$ 3.220 per troy ounce, anjlok hingga 3,2% dibanding hari sebelumnya. Kejatuhan ini adalah cerminan langsung dari berkurangnya kekhawatiran pasar terhadap eskalasi perang dagang, pemicu utama perburuan emas selama ini.
Substansi dari ‘jeda strategis’ ini adalah kesepakatan sementara selama 90 hari ke depan untuk menurunkan tingkat tarif. AS setuju memangkas tarif barang impor China dari 145% menjadi hanya 30%, termasuk tarif untuk fentanil mulai 14 Mei. China pun tak mau kalah, bersedia menurunkan tarif barang impor AS dari 125% menjadi 10%. “Kami telah melakukan diskusi yang sangat kuat dan produktif… Kami sepakat bahwa tidak ada pihak yang ingin memisahkan diri,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent di Jenewa, mengisyaratkan adanya ‘gencatan senjata’ yang penuh perhitungan.
Lantas, apa artinya semua ini bagi Indonesia? C. Jiah Mario menegaskan, “Ini bukan waktunya bertepuk tangan, ini waktunya berpikir keras. Geopolitik dan ekonomi global sedang berada di titik didih yang baru. Perubahan lanskap ini menuntut Indonesia memainkan taktik yang jauh lebih canggih.” Indonesia, yang berada di persimpangan strategis antara dua kekuatan besar ini, harus mampu menavigasi gelombang ini dengan bijak. Stabilitas global yang semu ini bisa jadi hanya jeda sebelum babak berikutnya.
“Sebagai bangsa yang punya sejarah panjang dalam menghadapi badai global, Indonesia harus ingat kata pepatah: ‘Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui’. Artinya, setiap langkah kita di panggung global harus punya multi-efek positif,” papar C. Jiah Mario. “Strategi kita tidak bisa linier. Harus ‘cakra manggilingan’, terus berputar mencari posisi terbaik, beradaptasi dengan cepat. Perkuat pondasi ekonomi domestik, jaga stabilitas Rupiah dari guncangan Dolar AS yang mengamuk, dan diversifikasi mitra dagang serta investasi. Kemandirian adalah kunci di era ketidakpastian ini.”
Dia menambahkan, de-eskalasi perang dagang ini memang memberikan ruang nafas sementara bagi perdagangan global, namun akar masalah persaingan strategis antara AS dan China masih sangat dalam. “Indonesia harus membaca sinyal ini sebagai peringatan. Volatilitas pasar yang kita lihat hari ini adalah ‘peta’ dari pergeseran kekuatan global. Jangan sampai kita hanya jadi penonton, apalagi korban. Indonesia harus menjadi pemain yang cerdas, menggunakan diplomasi ekonomi dan geopolitik untuk mengamankan kepentingan nasional,” pungkas C. Jiah Mario, menekankan bahwa di tengah jeda ini, justru taktik dan strategi Indonesia di pentas dunia harus makin diasah.