Umum

Dibalik Candaan: Body Shaming dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental

Dalam kehidupan sehari-hari, candaan sering dianggap sebagai bumbu interaksi sosial. Di meja makan keluarga, obrolan bersama teman, hingga kolom komentar media sosial, komentar tentang bentuk tubuh kerap dilontarkan dengan nada ringan: “Kok tambah gemuk?”, “Kurus banget, nggak makan ya?”, atau “Kalau putih pasti cantik.” Sayangnya, candaan semacam ini sering kali luput disadari sebagai bentuk body shaming—penghinaan terhadap tubuh seseorang—yang meninggalkan luka lebih dalam daripada yang terlihat.

Dari sudut pandang perempuan, body shaming bukan sekadar komentar sepele. Perempuan sejak lama hidup dalam tekanan standar kecantikan yang sempit: tubuh langsing, kulit cerah, wajah mulus, dan proporsi tertentu. Standar ini diwariskan secara sosial dan kultural, bahkan kadang dilegitimasi secara tidak sadar oleh lingkungan terdekat. Akibatnya, perempuan sering tumbuh dengan rasa tidak aman terhadap tubuhnya sendiri, merasa “kurang” dan terus membandingkan diri dengan orang lain. Body shaming menjadi persoalan utama karena ia menyentuh identitas, harga diri, dan kesehatan mental perempuan secara langsung.

Menurut pengalaman sosial yang saya amati, banyak perempuan memilih diam ketika tubuhnya dijadikan bahan candaan. Diam bukan berarti setuju, melainkan sering kali karena takut dianggap baper, tidak humoris, atau berlebihan. Padahal, di balik senyum yang dipaksakan, ada rasa malu, marah, bahkan benci pada diri sendiri. Dalam jangka panjang, body shaming dapat memicu kecemasan, depresi, gangguan makan, hingga hilangnya rasa percaya diri. Ini bukan sekadar isu personal, melainkan persoalan kemanusiaan.

Nilai-nilai Islam sejatinya hadir sebagai rahmat yang membebaskan manusia dari penindasan, termasuk penindasan verbal. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka…” (QS. Al-Hujurat: 11). Ayat ini menegaskan bahwa merendahkan orang lain, dalam bentuk apa pun, bertentangan dengan akhlak Islam. Tubuh manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna sesuai hikmah-Nya, bukan objek ejekan.

Dari perspektif keperempuanan, body shaming juga berkaitan dengan keadilan. Keadilan berarti memberi ruang aman bagi perempuan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi berdasarkan tubuh. Islam memuliakan perempuan bukan karena penampilan fisik, melainkan karena ketakwaan dan akhlaknya. Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta, tetapi melihat hati dan amal perbuatan. Nilai ini seharusnya menjadi landasan dalam membangun relasi sosial yang lebih manusiawi.

Refleksi penting yang perlu dihadirkan adalah bagaimana kita, sebagai individu dan masyarakat, bisa lebih berempati. Menghentikan body shaming bukan hanya soal menahan lisan, tetapi juga mengubah cara pandang. Perempuan perlu didukung untuk mencintai tubuhnya sebagai amanah, bukan beban. Pendidikan keluarga, lingkungan sosial, dan ruang digital harus menjadi tempat yang menumbuhkan rasa aman dan saling menghargai.

Sebagai penutup, dibalik candaan tentang tubuh, ada dampak nyata terhadap kesehatan mental yang sering diabaikan. Sudah saatnya kita lebih bijak dalam berbicara dan lebih peka dalam bercanda. Harapannya, masyarakat dapat membangun budaya yang menghormati martabat manusia, menjunjung keadilan gender, dan selaras dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian, perempuan dapat tumbuh sebagai pribadi yang utuh, sehat secara mental, dan berdaya dalam kemanusiaannya.

Penulis : Najla Shava Dwifa Hasanah, asal Cabang HMI Palangkaraya, peserta Latihan Khusus Kohati (LKK) HMI Cabang (P) Tanah Laut.

Back to top button