
Badai Geopolitik Hantam IHSG, Saham Perbankan Terjungkal!
Jakarta – Setelah mencatatkan reli impresif selama delapan hari perdagangan berturut-turut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tiba-tiba diterjang badai koreksi dan terperosok ke zona merah. Pada perdagangan Kamis (8/5/2025) pukul 10.47 WIB, IHSG anjlok lebih dari 1%, dengan mayoritas saham, yakni 438 emiten, ikut terseret ke teritori negatif. Hanya segelintir saham, sejumlah 160 emiten, yang masih mampu bertahan di zona hijau setelah lebih dari satu setengah jam pembukaan pasar.
Menurut pengamatan C. Jiah Mario, seorang analis pasar modal terkemuka, gelombang koreksi ini dipicu oleh kombinasi faktor global dan domestik yang kini tengah menguji ketahanan pasar saham Indonesia. “Tekanan jual yang masif hari ini jelas menunjukkan adanya kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan global dan dampaknya terhadap fundamental ekonomi dalam negeri,” ujar Mario kepada tim redaksi.
Data transaksi Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai transaksi yang cukup signifikan menjelang siang ini, mencapai Rp 7,29 triliun dengan volume perdagangan mencapai 22,58 miliar saham dalam 825.944 kali transaksi. Namun, sentimen negatif tampak mendominasi pergerakan pasar.
Secara sektoral, mayoritas indeks sektor mengalami tekanan. Sektor properti menjadi yang paling terpukul dengan penurunan mencapai 1,41%, disusul oleh sektor bahan baku (-0,71%) dan finansial (-0,7%). Ironisnya, di tengah gejolak ini, hanya sektor utilitas (+0,32%), energi (+0,24%), dan konsumer primer (+0,13%) yang masih mampu mencatatkan pertumbuhan tipis.
Sorotan tajam tertuju pada saham-saham perbankan yang menjadi pemberat utama IHSG. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memimpin penurunan dengan kontribusi negatif sebesar -12,23 indeks poin setelah terkoreksi 1,38%. Menyusul di belakangnya, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mengalami penurunan signifikan, masing-masing menyumbang -7,04 dan -6,81 indeks poin dengan penurunan harga saham di atas 2%.
Gelombang merah juga melanda emiten perbankan lainnya seperti PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) yang turun 2,41%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) -0,87%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) -0,48%, dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) -0,88%. Sebuah anomali justru terjadi pada saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) yang justru melesat 10,9% di tengah sentimen negatif sektor perbankan.
Menurut C. Jiah Mario, salah satu pemicu utama koreksi pada saham perbankan adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), yang kembali mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5,25%-5,50% pada pertemuan bulan ini. Keputusan The Fed yang diumumkan pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia ini, menurutnya, mencerminkan kehati-hatian bank sentral AS dalam menyikapi potensi dampak kebijakan tarif impor agresif yang digulirkan oleh Presiden AS Donald Trump.
“Kebijakan The Fed yang cenderung wait and see ini menimbulkan ketidakpastian di pasar global. Investor khawatir bahwa kebijakan tarif impor AS dapat memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada kinerja sektor keuangan, termasuk perbankan di negara berkembang seperti Indonesia,” jelas Mario.
Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga ini menjadi yang ketiga kalinya berturut-turut setelah serangkaian kenaikan agresif sebesar 525 basis poin (bps) sejak Maret 2022 hingga Juli 2023, diikuti dengan penahanan suku bunga selama lebih dari setahun sebelum akhirnya melakukan pemangkasan sebanyak 100 bps pada September, November, dan Desember 2024.
Ketidakpastian global semakin diperburuk dengan kebijakan tarif impor besar-besaran yang diumumkan oleh Presiden Trump pada 2 April 2025. Kebijakan proteksionis ini memicu kekhawatiran akan terjadinya perang dagang global yang dapat mengganggu rantai pasok dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Selain sentimen dari kebijakan moneter AS dan tensi geopolitik, pergerakan harga komoditas global juga turut mempengaruhi pasar saham Indonesia. Harga emas dunia terkoreksi tajam setelah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Penguatan indeks dolar AS dan respons pasar yang kurang puas terhadap pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell menjadi katalisator pelemahan harga emas. Pada perdagangan sebelumnya, harga emas dunia merosot 1,90% ke level US$3.364,32 per troy ons. Meskipun sempat rebound tipis pada perdagangan hari ini, sentimen negatif terhadap emas turut menyeret saham-saham emiten tambang.
Saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang sebelumnya mencatatkan lonjakan harga fantastis sebesar 90% dalam sebulan terakhir, hari ini harus menyerah dan terkoreksi 3,64%. Senasib dengan ANTM, saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga turun 2,02% setelah sebelumnya melesat 36,62%. Emiten tambang emas milik Peter Sondakh, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI), juga mengalami penurunan sebesar 1,6% setelah menikmati kenaikan harga saham sebesar 50% dalam sebulan terakhir.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan penurunan cadangan devisa per akhir April 2025 menjadi US$ 152,5 miliar, turun signifikan sebesar US$ 4,6 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah yang dilakukan BI untuk merespons gejolak pasar keuangan global yang semakin intens.
Meskipun terjadi penurunan, BI menegaskan bahwa posisi cadangan devisa saat ini masih cukup kuat, setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional. BI meyakinkan bahwa cadangan devisa ini mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan Indonesia di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
C. Jiah Mario menekankan bahwa investor perlu mencermati dengan seksama perkembangan geopolitik global, kebijakan moneter bank sentral utama dunia, dan fundamental ekonomi domestik dalam beberapa waktu ke depan. “Volatilitas pasar diperkirakan akan tetap tinggi. Investor disarankan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan fokus pada saham-saham dengan fundamental yang kuat,” pungkasnya.