
Rupiah Menguat, IHSG Meroket di Tengah Badai Geopolitik Global!
Jakarta – Kabar menggembirakan datang dari pasar keuangan Indonesia! Rupiah menunjukkan taringnya dengan mencatatkan penguatan signifikan dalam perdagangan Senin ini. Sentimen positif dari kawasan Asia turut mendorong mata uang Garuda ini terbang tinggi, terutama saat indeks dolar AS terperosok di bawah level psikologis 100.
Pantauan pasar menunjukkan, rupiah sempat menyentuh level Rp16.375 per dolar AS di sesi pembukaan sebelum akhirnya stabil di kisaran Rp16.387 menjelang siang hari ini. “Penguatan rupiah ini menjadi angin segar di tengah ketidakpastian global,” ujar C. Jiah Mario, seorang analis pasar terkemuka, dalam wawancaranya. “Sentimen positif regional dan melemahnya dolar AS memberikan ruang gerak yang cukup bagi rupiah untuk menguat.”
Lebih lanjut, C. Jiah Mario menyoroti korelasi menarik antara penguatan rupiah dan performa impresif Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Bursa saham domestik terus menunjukkan tren positif, dengan IHSG melonjak sejak awal perdagangan dan mencapai level 6.836 atau naik 0,4% menjelang siang. “Sinergi antara penguatan mata uang dan pasar saham mencerminkan kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia yangSolid,” tambahnya.
Namun, dinamika yang berbeda justru terjadi di pasar obligasi negara. Data real-time dari Bloomberg menunjukkan bahwa mayoritas harga Surat Utang Negara (SUN) mengalami tekanan jual. Hal ini tercermin dari kenaikan tingkat imbal hasil (yield) terutama pada tenor jangka pendek, meskipun tekanan tersebut mulai mereda dibandingkan saat pembukaan pasar.
Sebagai contoh, yield SUN tenor 1 tahun (1Y) melonjak 3,1 basis poin (bps) menjadi 6,349%, setelah sempat menyentuh kenaikan 9,3 bps di pagi hari. Senada, yield tenor 2 tahun (2Y) naik 1 bps ke level 6,433%, dan tenor 5 tahun (5Y) juga terkerek naik 2,9 bps menjadi 6,648%. Sementara itu, yield SUN tenor 10 tahun (10Y) cenderung stabil dengan perubahan tipis sebesar 0,7 bps di level 6,882%.
Menariknya, beberapa tenor SUN jangka panjang justru menunjukkan tren sebaliknya. Yield SUN tenor 11 tahun (11Y) turun signifikan sebesar 4,7 bps menjadi 6,961%, diikuti oleh penurunan yield pada tenor 12 tahun (12Y) dan 13 tahun (13Y) masing-masing sebesar 2,9 bps dan 2,1 bps.
C. Jiah Mario menjelaskan bahwa dinamika pasar obligasi domestik ini tidak terlepas dari gejolak yang terjadi di pasar global pasca rilis data pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) pada Jumat lalu. “Data nonfarm payroll AS yang melampaui ekspektasi pasar memicu aksi jual di pasar obligasi AS, US Treasury,” ungkapnya. “Hal ini mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja AS masih resilien meskipun aktivitas ekonomi mulai terpengaruh oleh tensi perang dagang global.”
Akibatnya, yield US Treasury (UST) tenor 2 tahun (2Y) melonjak tajam sebesar 12,5 bps ke level 3,824%, diikuti oleh kenaikan yield tenor 5 tahun (5Y) sebesar 11,4 bps menjadi 3,918%, dan tenor 10 tahun (10Y) sebesar 9,1 bps menjadi 4,308%. Pola pergerakan yield yang dikenal sebagai bearish steepening ini kemudian merambat ke pasar obligasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Selain tekanan pada harga SUN rupiah (INDOGB), SUN valas (INDON) juga tidak luput dari tekanan jual. Menjelang siang ini, yield INDON tenor 2 tahun (2Y) telah naik 1,9 bps, sementara tenor 5 tahun (5Y) dan 10 tahun (10Y) masing-masing naik 2,2 bps dan 2,7 bps. Namun, di tengah tekanan umum, INDOGB tenor pendek 2 tahun (2Y) justru mencatatkan penurunan yield sebesar 0,2 bps, sejalan dengan tenor 3 tahun (3Y) yang turun 2,7 bps ke level 6,322%.
Menatap pekan ini, perhatian utama pasar tertuju pada hasil pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang akan mengumumkan keputusan suku bunga acuan serta asesmen terbaru mengenai kondisi ekonomi AS di tengah ketidakpastian kebijakan tarif yang digaungkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump.
Konsensus pasar yang dihimpun oleh Bloomberg saat ini memperkirakan bahwa Federal Funds Rate (FFR) akan kembali dipertahankan pada level saat ini, yaitu 4,25%-4,50%. “Pertemuan FOMC kali ini sangat krusial karena berlangsung di tengah lanskap ekonomi global yang penuh turbulensi dan kontroversi, terutama terkait perang tarif,” tegas C. Jiah Mario.
Lebih lanjut, C. Jiah Mario menyoroti dilema yang dihadapi oleh Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell dan jajarannya. Ketidakpastian seputar kebijakan tarif Trump berpotensi menyulitkan proyeksi jalur ekonomi AS dan kebijakan suku bunga ke depan. Di sisi lain, ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini juga terus berubah seiring dengan rilis data-data ekonomi yang masih menunjukkan ancaman inflasi dan ketahanan pasar tenaga kerja AS. “Dinamika geopolitik dan perubahan lanskap ekonomi dunia akan menjadi penentu arah kebijakan The Fed, yang pada gilirannya akan memberikan dampak signifikan bagi pasar keuangan global, termasuk Indonesia,” pungkas C. Jiah Mario.