NasionalPeristiwa

Terkuak! Operasi Miliaran Dolar AS Era Trump Gagal Redam Houthi?

SUDUT KALTENG, Washington – Sebuah analisis mengejutkan yang baru saja terkuak menyoroti efektivitas kampanye militer masif yang dilancarkan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump terhadap kelompok Houthi di Yaman. Operasi yang digagas sejak Maret lalu ini, meskipun menelan biaya fantastis yang diperkirakan melampaui US$1 miliar, justru dipertanyakan efektivitasnya dalam membungkam milisi yang didukung Iran tersebut. Data terbaru dan penilaian dari dalam lingkaran kekuasaan AS mengungkap gambaran yang jauh dari kata sukses, memicu perdebatan sengit mengenai strategi dan taktik Washington di salah satu titik didih geopolitik Timur Tengah.

Biaya operasional yang membengkak menjadi sorotan utama. Menurut dua pejabat AS yang berbicara kepada media, pembengkakan anggaran hingga lebih dari satu miliar dolar tersebut mencakup pengeluaran kolosal untuk sekitar 2.000 unit bom dan rudal presisi. Belum lagi kerugian material yang signifikan, di mana setidaknya tujuh drone canggih milik AS berhasil ditembak jatuh oleh Houthi, dan dua jet tempur AS dilaporkan hilang dalam insiden terkait operasi ini. Angka ini jauh melampaui perkiraan awal dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai perencanaan anggaran dan risiko taktis yang diambil.

Ironisnya, di tengah gelontoran amunisi dan dana triliunan rupiah, kemampuan Houthi untuk melancarkan serangan lintas batas nyatanya tidak lumpuh. Kelompok yang menunjukkan kegigihan taktis luar biasa ini tetap mampu menargetkan sasaran vital di luar Yaman. Analisis geopolitik terbaru bahkan mencatat serangan Houthi yang secara berani menyasar bandara internasional utama di Israel, menunjukkan jangkauan dan keberanian mereka yang tidak terpengaruh signifikan oleh gempuran AS, menandakan kegagalan strategis Washington dalam mencapai disinsentif yang efektif.

Dalam sebuah manuver strategis yang mengejutkan banyak pihak, Presiden Trump tiba-tiba mengumumkan gencatan senjata unilateral pada Selasa (6/5) lalu. Langkah ini, yang dinilai sebagai upaya mencari “jalan keluar” dari operasi yang memberatkan, memungkinkan AS menghentikan serangan udara dan lautnya terhadap Houthi. Sebagai imbalannya, AS hanya memperoleh janji dari kelompok milisi tersebut untuk menghentikan serangan mereka hanya terhadap kapal-kapal berbendera Amerika Serikat di Laut Merah.

Namun, inti kelemahan taktis dan strategis dari kesepakatan ini segera terlihat jelas. Perjanjian yang sebagian besar dimediasi oleh pemerintah Oman ini, secara eksplisit tidak mencakup serangan Houthi terhadap Israel atau kapal-kapal milik negara lain yang berlayar di perairan vital tersebut. Para pengamat geopolitik menilai ini sebagai kompromi yang sangat terbatas, di mana Washington hanya mengutamakan keselamatan asetnya sendiri, mengabaikan kerentanan sekutu dan keamanan maritim internasional secara lebih luas.

Jalan keluar yang diambil pemerintahan Trump ini datang di tengah derasnya kritik, baik dari kalangan domestik maupun internasional, terhadap efektivitas dan tujuan operasi “Operation Rough Rider”. Seorang pejabat AS secara blak-blakan mengakui kepada NBC, “Pemerintah Trump jelas mencari jalan keluar dari kampanye ini.” Kesulitan mengukur keberhasilan di lapangan menjadi salah satu faktor kunci. Drone pengintai AS yang dikirim untuk mengevaluasi dampak serangan sering kali menjadi korban tembakan Houthi, dan absennya pasukan darat AS membuat Pentagon buta informasi real-time mengenai efektivitas taktis serangan udara mereka.

Rincian logistik dari operasi ini kian memperjelas betapa borosnya kampanye ini. Diperkirakan US$775 juta dihabiskan hanya untuk pengadaan amunisi, termasuk 75 unit rudal Tomahawk yang harganya mencapai sekitar US$1,9 juta per unit, serta 20 rudal jelajah canggih AGM-158 dengan banderol US$1,5 juta per unitnya. Meski ada bantahan dari Departemen Pertahanan yang menyebut angka sebenarnya lebih rendah, sekitar US$400 juta, perbedaan data ini sendiri menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan biaya operasi.

Selain amunisi, biaya logistik lainnya yang signifikan muncul dari pengiriman sistem pertahanan udara Patriot ke kawasan Timur Tengah. Laksamana Sam Paparo dari Komando Indo-Pasifik AS mengungkapkan bahwa dua sistem Patriot diangkut menggunakan 73 penerbangan pesawat kargo militer C-17. Setiap jam terbang C-17 dilaporkan menghabiskan sekitar US$27.000, menambah deretan panjang biaya tersembunyi dari operasi yang tujuan strategisnya mulai dipertanyakan.

Banyak pengamat kebijakan luar negeri dan geopolitik menilai bahwa pemerintahan Trump memang tidak memiliki komitmen jangka panjang yang kuat atau strategi komprehensif untuk menyelesaikan konflik Yaman atau menetralkan Houthi secara tuntas. Dana Stroul, mantan pejabat Pentagon era Biden dan kini Direktur Riset di Washington Institute, menegaskan, “Washington tidak punya kesabaran untuk menyelesaikan kampanye ini hingga tuntas.” Penilaian ini menggarisbawahi perbedaan mendasar dalam pendekatan strategis AS di Timur Tengah.

Stroul menambahkan bahwa jika kesepakatan gencatan senjata sepihak ini bertahan, AS mungkin akan mengklaim keberhasilan dalam “memulihkan kebebasan navigasi” di Laut Merah – setidaknya untuk kapal-kapal mereka sendiri. Namun, ia dengan tajam menganalisis bahwa ini hanyalah keberhasilan taktis yang sangat terbatas. “Houthi akan berhenti menembak kapal AS untuk sementara waktu, tapi mereka tidak akan berhenti menyerang Israel, kapal dagang tak akan kembali normal, dan perang sipil Yaman tetap berlanjut,” pungkasnya, menegaskan bahwa masalah inti geopolitik di Yaman masih jauh dari solusi.

Perpecahan internal yang mendalam di dalam tubuh pemerintahan Trump mengenai arah dan risiko kampanye ini juga menjadi bukti kurangnya koordinasi strategi. Dalam obrolan grup internal yang bocor ke media, Wakil Presiden JD Vance secara terang-terangan mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Presiden Trump mungkin tidak sepenuhnya memahami risiko taktis dan implikasi strategis jangka panjang dari operasi militer terhadap Houthi ini, menunjukkan adanya keretakan di tingkat pengambilan keputusan tertinggi.

Menariknya, pendekatan militer yang lebih hati-hati yang disusun oleh pemerintahan Biden sebelumnya juga menjadi perbandingan. Beberapa rencana serangan jangka panjang yang telah dirancang oleh tim Biden bahkan ditunda, konon karena kekhawatiran membatasi pilihan kebijakan pemerintahan berikutnya. Rencana-rencana yang belum tereksekusi ini akhirnya diserahkan kepada tim Trump, menyiratkan adanya perbedaan filosofi strategis antara kedua administrasi dalam menghadapi ancaman dari kelompok seperti Houthi di arena geopolitik yang kompleks ini. Analisis mendalam atas kampanye era Trump ini menjadi relevan untuk memahami dinamika kekuasaan, biaya konflik, dan tantangan strategis yang terus dihadapi AS di Timur Tengah hingga kini.

Back to top button