NasionalPeristiwa

Trump Lakukan Lankah Brutal! Cabut Sanksi Suriah: Perang Dingin Baru AS vs Israel Dimulai?

SUDUT KALTENG, Jakarta – Riyadh menggelora, dalam sebuah manuver geopolitik yang mengguncang peta kekuatan Timur Tengah, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dilaporkan telah menginstruksikan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah. Langkah mengejutkan ini, menurut analisis tajam mantan diplomat kawakan dan Duta Besar Inggris untuk Suriah, Peter Ford, bukan sekadar perubahan kebijakan, melainkan sebuah deklarasi independensi Washington dari pengaruh kuat Israel dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Ford menyebut pengumuman tersebut sebagai sinyal paling jelas bahwa Trump bertekad untuk menunjukkan kedaulatan strategis AS, lepas dari bayang-bayang mitra lamanya di Yerusalem. “Pengumuman ini datang di saat Trump tampaknya ingin secara terang-terangan mendemonstrasikan independensinya dari Benjamin Netanyahu,” ujar Ford, Jumat waktu setempat, dalam analisis yang kini menjadi sorotan global. Ia menambahkan, Israel selama ini berupaya keras membatasi Suriah karena negara Arab ini dilihat sebagai satu-satunya entitas yang berpotensi menahan ambisi ekspansionis Israel di masa depan. “Oleh karena itu, keterbukaan Trump terhadap Suriah adalah tindakan perlawanan langsung terhadap Israel,” tegas Ford, memprediksi kemungkinan AS kini dapat menggunakan pengaruhnya untuk menekan Israel agar mengakhiri agresi di Jalur Gaza secara damai.

Lebih dalam lagi, kehadiran sosok Putra Mahkota dan Perdana Menteri Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), mendampingi Trump saat pengumuman di Forum Investasi AS-Arab Saudi di Riyadh, Selasa lalu, dipandang Ford sebagai indikasi kuat pergeseran aliansi. “Keterbukaan terhadap Suriah menunjukkan kekuatan hubungan AS-Arab Saudi pasca-era Joe Biden yang sempat merenggang. Trump dengan jelas mengisyaratkan bahwa ia kini lebih mendengarkan Riyadh ketimbang Yerusalem,” papar Ford, menyoroti dimensi ekonomi dan politik dari pertemuan tingkat tinggi tersebut yang berpotensi membuka pintu investasi dan proyek rekonstruksi besar di Suriah di masa mendatang, di bawah payung potensi kemitraan baru dengan AS.

Menurut Ford, perkembangan drastis hubungan AS-Suriah ini membuka peluang bagi Washington untuk menjadikan Damaskus semacam “protektorat” atau negara klien, mirip posisi Yordania saat ini. Implikasi strategisnya sangat besar. “Israel harus segera melakukan kalkulasi ulang pendekatan mereka terhadap Suriah. Menahan serangan udara mereka terhadap sebuah negara yang berpotensi menjadi mitra dan klien AS adalah langkah logis,” kata Ford. Ia bahkan berpendribusi bahwa Israel mungkin harus mempertimbangkan melepaskan sebagian wilayah Suriah yang mereka caplok di masa lalu sebagai bagian dari skema stabilitas regional yang baru ini.

Proses pemulihan hubungan AS-Suriah diprediksi dapat berlangsung cepat. Otoritas Suriah baru di bawah pemimpin muda Ahmed Al-Sharaa, yang memanfaatkan momentum sanksi AS untuk menggulingkan rezim Bashar Al-Assad, secara alami dapat bertransformasi menjadi “mitra junior” Washington di kawasan tersebut, kata Ford. Ini akan membuka peluang ekonomi signifikan, termasuk akses pasar AS dan Barat, bantuan pembangunan, dan partisipasi dalam arsitektur keamanan regional baru yang dipimpin AS dan didukung negara-negara Teluk.

Namun, tantangan besar tetap menghadang: penempatan tentara AS di Suriah yang awalnya bertujuan mencegah kebangkitan kelompok teroris seperti ISIS. Ford berargumen bahwa penarikan pasukan AS dari Suriah Timur Laut adalah langkah logis dan strategis dalam konteks baru ini. “Ini akan menghilangkan penghambat utama dalam hubungan AS dan Iran. Kedua kekuatan ini menjadi sangat rentan jika terjadi konfrontasi terbuka di wilayah Suriah yang sama,” jelasnya. Langkah ini juga dapat memberikan Iran insentif strategis saat fase krusial negosiasi nuklir mereka semakin dekat, menawarkan jalur de-eskalasi yang langka.

Dalam pertemuan di Riyadh yang dihadiri juga oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Trump tidak hanya membahas upaya bersama mengalahkan teroris dengan Ahmed Al-Sharaa, tetapi juga dilaporkan mendorong Al-Sharaa untuk mendukung Perjanjian Abraham, yaitu normalisasi hubungan dengan Israel. Pasca-pertemuan itu, Trump secara publik memuji Al-Sharaa sebagai pemimpin muda yang “menarik”, “tangguh”, dengan “latar belakang kuat”, sebuah endorsement yang mengagetkan dunia dan mengisyaratkan dukungan AS terhadap transisi politik di Suriah dan pembukaan era baru dalam dinamika geopolitik dan ekonomi regional yang penuh kejutan. Dunia menahan napas, menyaksikan apakah langkah bombastis Trump ini akan benar-benar memicu era baru konfrontasi terbuka AS-Israel atau justru membuka jalan bagi arsitektur perdamaian dan kemakmuran yang sama sekali berbeda di Timur Tengah.

Back to top button